Misi Papua dalam Obrolan Cafe

Berbagi Perjuangan Iman dalam Bahasa Dunia Kita

(Sebuah tulisan yang belum selesai, masih sedang dikerjakan)

Menyajikan Misi Bomomani, sebuah kampung di pegunungan tengah Papua, seperti menggelar pameran perangkat elektronik multymedia, komputer atau handphone di suatu gedung di Jakarta. Semenjak KAJ membangun misi di daerah hutan yang dingin berkategori sangat terpencil ini, sejumlah hal baru dibangun di antara dukungan minimal dari alam yang masih perawan dan kemampuan jaman batu umatnya. Inilah kisah perjuangan misionaris domestik KAJ menggerakkan roda perubahan dengan menginstalasi turbin air mikrohidro, rumah bina tani, industri kopi rumahan, asrama dan pastoral modern semata-mata sebagai tawaran mengundang umat yang terlibat ikut memilikinya dan mengalami perubahan dalam gaya hidup labil mereka menuju budaya tinggal menetap menekuni alam. Suatu pilihan terakhir beralih dari budaya peramu-nomaden menjadi budaya petani atau terhempas menjadi penonton termangu teler di trotoar kota. seperti saat ini teknologi tablet dan blackberry merubah gaya hidup manusia metropolitan meminggirkan netbook dari pilihan orang-orang. Iman Katolik ditawarkan mengganti ketakutan akan hantu-hantu animis, seperti menawarkan windows 7 ditengah pengguna windows XP, android dan apple.

PB270062

Obrolan itu dimulai dengan prasangka

“Romo Fe, katanya orang papua malas-malas yah, katanya suka mabuk yah?” tanya seorang bapak memulai pembicaraan sambil menyeruput kopi panasnya. Ini suatu pertanyaan yang umum saya dengar di hampir setiap awal obrolan dengan seseorang, yang saya kategorikan ‘sedikit tahu Papua’ atau ‘seolah tahu Papua’. Stigma terhadap umat saya, yang juga orang Papua itu muncul karena cerita teman mereka yang orang Jakarta tersebut suatu ketika pergi ke salah satu dari beberapa kota terkenal di Papua, entah itu Jayapura, Timika, Sorong, Biak atau Merauke, dan mereka pikir mereka sudah sampai Papua. Mungkin juga ada seorang atau beberapa kenalan mereka adalah pengusaha di beberapa kota tersebut. Namun mereka lupa, kota-kota tersebut bukan Papua melainkan sebuah import budaya yang memaksa masuk tanpa bisa dibendung, namanya modernisasi, metropolitansi atau aneka ‘si’ lainnya termasuk globalisasi dan indonesianisasi dalam istilah mereka.

Benarlah juga bahwa hampir semua warga pendatang di tanah Papua, seberapa tahunpun lamanya mereka tinggal di kota-kota itu di Papua belum pernah bisa melepaskan stigma ‘orang papua adalah pemalas dan pemabuk.’ Di tengah riuhnya pembangunan kota-kota di Papua dan rupanya di setiap perkembangan dalam kota-kota besar di dunia, ada tuntutan yang sama yakni kegesitan memanfaatkan peluang dan memanfaatkan ketrampilan serta kecerdasan untuk memperbesar peluangnya mendapat kesejahteraan. Para pemalas dan pemabuk itu umumnya tak berpendidikan cukup dan jelas dengan latar budaya zaman batu sukunya, mereka tidak punya ketrampilan. Peluang satu-satunya yang mereka mengerti adalah berburu uang kaget, uang pungli, uang palang atau uang apapun sebutannya di antara hutan manusia berkulit terang berbaju bagus di keramaian kota, kecuali uang kasihan karena mengemis sesuatu yang memalukan dan tanda kerendahan martabat. Dulu mencuri juga termasuk sesuatu taboo yang merendahkan martabat karena dalam mabukpun, mereka harus temukan kebenaran hak untuk kepemilikan barang orang lain, tapi sekarang rasa malu itu sudah hilang hampir sama sekali punah.

Dengan pakaian yang lebih kumuh dan bau dari yang bisa kita bayangkan dikenakan di antara para pengemis paling miskin di Jakarta, berandalan Papua biasa nongkrong di keramaian pasar berbaur di antara pribumi baik-baik konsumen pasar lainnya yang pakaiannya hanya sedikit lebih bersih, kadang satu dua orang tergeletak di trotoar yang oknum-oknum Papua tersebut anggap lebih baik dari pekarangan lumpur pada halaman rumah kampungnya di pedalaman pantai atau gunung. Orang-orang asli ini tidak tahan alkohol dalam arti sebenarnya tapi punya nafsu minum melebihi kemampuannya, segelas bir hitam oplosan dan sebotol miras murah punya efek sama, mabuk berat. Perjumpaan warga pendatang dengan mereka seringkali akan dimulai dengan masalah dan berakhir dengan masalah yang lebih besar lagi. Kekesalan dan kejengkelan terhadap orang-orang susah ini membuat cap buruk pemalas dan pemabuk enggan dilepaskan dari mereka dan diterapkan secara merata atas setiap manusia berkulit legam dengan rambut keriting.

Tragedinya, pribumi Papua adalah suatu pengecualian dalam komunitas penduduk kota-kota Papua yang didominasi ‘orang-orang barat’ secara Papua adalah pulau paling timur dari Nusantara ini. Kota, yang kita tahu di Jakarta berisi segala kecurangan dan kemegahan, dosa dan iman, kutuk dan berkat sekaligus tercampur tak kentara, di Papua seperti botol bening yang terisi hampir penuh dengan warga berkulit terang dan berambut lurus, sementara beberapa butir hitam keriting seolah membuatnya keruh. Tanpa ada kejelasan siapa memeras siapa, orang hitam keriting macam mana, warga kulit terang rambut lurus seperti apa semua komunikasi terarahkan pada pembedaan terang-gelap semata-mata secara lugas, gelap adalah kutuk sementara terang adalah rahmat. Orang hitam keriting adalah gelap, semua peluang kota tertutup baginya kecuali trotoar dan got untuk berbaring mereka. Jika semakin banyak pemuda yang keluar dari pedalaman dengan ijasah dari sekolah yang mutunya dipertanyakan, berniat mengadu nasib di kota, akan bertambah deh antrean berbaring di trotoar dan got karena peluang berbagi kesejahteraan kota semakin ditipiskan.

“Saya jadi ingat omelan Yesus,” akhirnya saya menjawab. “Suatu ketika dia jengkel dengan komentar orang, Yohanes datang ngga makan ngga minum dibilang orang gila, Yesus datang, Ia makan dan minum, orang bilang rakus dan tukang mabok, (bdk Luk7:33-34) Kebanyakan orang, entah jaman Yesus, entah sekarang cenderung melihat tampilan.” Segelintir pemuda hopeless yang nongkrong di pasar itu tak sebanding dengan kerumunan pengemis dan pengamen di lampu merah perempatan Grogol. Jika sekarang kita pergi ke mall, toh yang paling utama kita lakukan adalah windows shoping – lihat-lihat model baju terkini, handphone terkini, suasana terkini, berita terkini dan sebagainya, bukankah tidak lebih baik dibanding kegairahan orang-orang hitam muncul di tengah pasar yang semua penjualnya adalah pendatang berkulit terang? Kalau mau jujur, kekayaan para pedagang di Papua datangnya dari orang-orang yang sementara ini hanya jadi konsumen aneka barang yang terpajang terang-terangan menarik hati muka-muka gelap yang ingin merubah pencitraan terhadap dirinya. Kenyataannya perbaikan tampilan dengan barang-barang itu tidak menghapus omongan buruk.

Penghiburan terjadi dalam terang…

“Masalah di pedalaman itu mencegah orang-orang semakin tertarik ke kota dan akhirnya terdampar di trotoar,” tegas saya untuk mulai bicarakan soal misi yang jadi tanggung jawab kita sebelum kopi berhenti mengepulkan uap harumnya. Di Jakarta, umatnya rata-rata berpendidikan tinggi, sejak kecil belajar hidup dalam persaingan – yang sering membuat kita menghadapi hidup sebagai menang dan kalah. Suasana ini berbeda sekali dengan sebuah komunitas di pedalaman, saat kebersamaan menjadi daya tahan untuk tetap hidup di tengah alam rimba gunung yang tidak bersahabat. Kebun-kebun umat umumnya hanya berlapis humus tipis, hasil pembabatan tepian hutan, yang dengan segera habis tergerus air karena pengolahan pertanian yang masih terbelakang. Kita tidak akan melihat kemalasan di antara orang-orang yang baru saja mulai belajar menetap dan bercocok tanam di Paroki Bomomani, areal seluas 40 Km2 dengan gunung gemunung melulu. Saya mencoba meyakinkan tidak nyamannya hidup di pedalaman, “Untuk datang beribadah pada hari Minggu, seorang umat di lingkungan terdekat pastoran akan berjalan kaki turun gunung minimal setengah jam, melewati jalan setapak seadanya, sejumlah kubangan lumpur pekat serta sungai yang tak ada jembatannya sambil membawa sekeranjang sayur dan ubi jalar di bahunya untuk coba dijual usai misa demi mendapatkan uang membeli sekaleng sarden untuk anaknya hari itu.”

Tidak ada hiburan di pedalaman karena seluruh waktu mereka di siang hari habis untuk pergi ke kebun yang jauh-jauh saja letaknya. Peningkatan hasil pertanian hanya mungkin secara ekstensif dengan menebangi hutan dan membuat kebun baru usai pembabatan tepian hutan yang semakin jauh dari rumah tinggal. Pembuatan pupuk kompos mulai diajarkan di kompleks misi dua tahun lalu, itupun pastornya juga masih coba-coba secara saya anak Jakarta lebih tidak terbiasa bertani daripada mereka. Romo Michael, yang melanjutkan misi domestik, baru awal tahun ini belajar bikin kompos dengan benar dari dua orang relawan FIDESCO – misionaris awam, seorang ahli pertanian Perancis, Myriam namanya datang bersama suaminya Mathew ahli peternakan. Jadi sementara karya misi sedang berpikir mengintensifkan pertanian, umat sepanjang hari masih harus terus menanam ubi makanan pokok mereka agar bisa tetap bertahan hidup dan harus buka lebih banyak hutan untuk tanam jagung dan sayuran andai mereka ingin sedikit lebih sejahtera. Kalau malam, dunia kehilangan banyak warnanya karena gelap melanda di sekitar mereka. Tidak ada listrik berarti pengeluaran berlebihan untuk penerangan rumah kecil mereka karena lilin walau mahal menjadi satu-satunya lampu yang efisien mengingat minyak tanah bukan hal mudah dan murah untuk didapat. Bisa dibayangkan lagu-lagu dari pemutar MP3, dengan biaya charge Rp.5000,- sekali colok di kios bugis-makasar menjadi hiburan paling diminati orang muda yang menikmati sambil bergerombol di tepian tungku. Jika seorang tentara atau polisi pangkat rendahan nakal datang menjual beberapa botol miras di sore hari, bagaimana pemuda-pemuda itu bisa menolak impian indah bersenda gurau bersama teman-temannya mengusir sepi dan dingin mencekam di tengah malam pegunungan suram itu.

Ibadat atau misa hari Minggu sebenarnya menjadi hiburan bagi umat juga, mereka senang bernyanyi pantun rohani dengan irama tradisional gubahan mereka sendiri. Sampai pertengahan tahun 2009, Bomomani masih bisa dijaga dengan ayat-ayat suci, tapi sekarang iman itu ditantang perannya, ibadah Gereja ditagih kegunaannya. Saat turbin air pembangkit listrik bagi kompleks misi rusak, mungkin karena kehausan karena dua tahun pemakaian tanpa perawatan cukup, umat mulai heran Gereja bisa dikalahkan masalah teknis. Sebab terang itu hilang ditelan gelap yang sama yang selalu melanda rumah mereka. Orang-orang muda yang biasa menumpang charge gratis pemutar MP3 juga mengalami dampak keresahan dan kesepian itu. Gedung gereja yang biasanya terang di waktu malam dan menjadi pilihan terbaik orang muda untuk tempat kumpul dengan membuat-buat kegiatan, entah koor atau sekedar paduan suara, latihan misdinar atau sebuah drama pendek atau apapun yang nanti bisa mereka tampilkan dengan bangga kepada orang tua dan teman-teman mereka dari paroki lain, kini menjadi terbatas. Solar mahal bahan bakar diesel, yang makin boros jika pemakaian banyak, susah ditanggung pastoran saat sebagian besar penghasilannya di dapat dari usaha ternak ayam potong yang menurun drastis panennya karena penerangan malam untuk kandang tidak ada lagi. Padahal pastoran harus menanggung biaya karya misi domestik, asrama dan rumah bina tani serta macam-macam kegiatan pastoral paroki yang terlanjur dibuat dengan pengandaian semua infrastruktur berjalan baik.

Terobosan baru harus dibuat. Karena umat, khususnya orang muda melihat Gereja bagaikan ngengat melihat lampu, jika lampu itu padam, mereka mencari api bara yang juga kelihatan terang namun tidak menyadari sayap-sayap mereka terbakar dan akhirnya seluruh tubuh terpanggang.

Limitless

Itu judul film, yang di pertengahan Juni 2011 sedang populer, berkisah tentang seorang yang mampu memakai 100% otaknya berkat sebuah pil yang diminumnya. Orang tersebut menemukan banyak kemungkinan untuk semakin menyamankan hidupnya, mulai dari menata kamarnya, menyelesaikan buku yang dijanjikannya kepada penerbit dan belajar aneka bahasa hingga masuk ke bursa saham lalu menarik keuntungan besar di situ. Kisah tercerahkannya seseorang yang menemukan aneka kemungkinan dalam hidupnya ini tercermin dalam misi di Bomomani.

1 Komentar

  1. Perempuan Samaria said,

    2 Januari 2012 pada 07:16

    Romo Fe yang baik,

    Saya terkesan sekali dengan tulisan ini. Dan maaf Romo, masih ada yang ingin saya sampaikan :

    1. Selama melaksanakan tugas misi di Papua, bahasa apa yang Romo pergunakan? Bahasa Indonesiakah, atau bahasa setempat?
    2. Sekadar usul, sebaiknya suka duka Romo selama 7 tahun di Papua, —termasuk momen-momen mengharukan selama membangun gereja—
    dibukukan saja, sehingga lebih banyak orang dapat menikmati atau bahkan tergerak untuk membantu (minimal mendoakan) saudara-
    saudara kita di sana.
    3. Apa pendapat pribadi Romo atau pandangan gereja, dalam menanggapi kasus Freeport ataupun tentang pengibaran bendera Papua? Kalau saya
    pribadi, dan banyak teman saya juga begitu, kami berpihak pada masyarakat Papua.

    Demikian kiranya,
    Happy New Year and May God Bless you, Romo Fe…


Tinggalkan Balasan ke Perempuan Samaria Batalkan balasan